Perkembangan Perencanaan Kota di
Jepang
Gambar 1. Fase perkembangan
kontemporer kota di Jepang (Sumber: Kompilasi dari Maruyama, dkk., 2000,
Saphira, dkk., 1994, dan Sorensen, 2002)
Seperti
terlihat pada Gambar 1, munculnya “machizukuri” sebagai model pembangunan
lingkungan yang berbasis masyarakat ini, pada awalnya tidak bisa dilepaskan
dari terbatasnya kontrol pada perencanaan kota itu sendiri. Implementasi aturan
perencanaan kota yang diundangkan tahun 1968, yang sebenarnya mempunyai tujuan
untuk mengerem perluasan wilayah kota (sprawl development) dengan sistem
batas kota (sembiki atau urban boundary), tampak kedodoran. Ini
terjadi terutama pada saat awal-awal membumbungnya performa ekonomi Jepang (bubble
economy). Model ini sebenarnya disinyalir oleh banyak penganalisis
(misalnya Koizumi, H. 2004) sebagai ketidakmampuan pemerintah pusat untuk
mengontrol perkembangan daerah dan mencoba membaginya kepada masyarakat. Dan
tampak nyata terlihat pada tahun 1992 ketika peraturan tahun 1968 itu direvisi
dengan memasukkan dasar perencanaan kota (the basic policy of city planning)
atau lebih dikenal dengan “the city masterplan” yang memberi peran lebih
besar pada pemerintah daerah (dan masyarakatnya).
Dari
sini, manfaat eksistensi “machizukuri” tampak nyata. Banyak rencana wilayah
yang selesai berkat partisipasi masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat
terbantu menjadi lebih hidup (semacam chounaikai, chijikai), dan
juga secara tak langsung memberi porsi demokrasi pada pengambilan keputusan
dari tingkat bawah. Beberapa hasil rencana yang banyak mendapat perhatian atau
dijadikan contoh antara lain adalah: Kobe City Machizukuri Ordinance
(1982 dan 1995), Setagaya Machizukuri Ordinance (1982, direvisi tahun
1995), Toyonaka Machizukuri Ordinance (1994), dan Kamakura
Machizukuri Ordinance (1997). Beberapa keunikan bisa pula dilihat di situ,
seperti bagaimana warga Setagaya berinisiatif untuk berdiri menjadi sebuah
kecamatan sendiri atau warga Kamakura menghasilkan konsep hidup berdampingan
dengan (kawasan) “sejarah”. Bisa pula dibandingkan bagaimana usulan warga Kobe
pada saat sebelum gempa (1982) dan hasil adaptasi pada rencana baru setelah
gempa (1995).
Momentum Gerakan “Machizukuri”
Satu
penyebab penting merebaknya gerakan “machizukuri” ke dalam satu tatanan sosial
masyarakat Jepang yang meluas dewasa ini adalah adanya kombinasi gerakan
“top-down” perencanaan kota dari pemerintah pusat Jepang yang kaku berbarengan
dengan meroketnya ekonomi Jepang pada tahun 1980-an tadi, ditambah banyaknya
ketidakpuasan terhadap pembangunan yang sering dibarengi dengan banyaknya
masalah lingkungan yang terjadi, terutama pada pembangunan pusat-pusat kota (inner
city development) di akhir 80-an. Meskipun pada awal merebaknya gerakan
“machizukuri” (akhir 80-an) dengan dukungan pemerintah daerah, tapi pada
kenyataannya kontrol yang berlebihan masih tetap sering mereka dapatkan
(Kawashima, 2001).
Gempa
Kobe (Hanshin-Awaji Earthquake) di tahun 1995 adalah titik tolak
kebangkitan gerakan “machizukuri” ini di Jepang. Beberapa sumber menyebut bahwa
respon pemerintah (pusat maupun daerah) yang kurang cukup, tergantikan oleh
usaha nyata sukarela dari masyarakat yang lebih cepat dan lebih efektif. Dari
situ menjadi bukti yang memperkuat disahkannya Undang-undang Kegiatan Nonprofit
Khusus (Law to Promote Specialized Non-Profit Activities) yang baru pada
tanggal 25 Maret 1998. Dari data di Kantor Kabinet (2006) diketahui juga bahwa
sejak tahun 1998 hingga 31 Maret 2006 lebih dari 15 ribu NPO terdaftar di
Jepang, dan hampir seperlimanya (lebih dari 2500 NPO) adalah organisasi
masyarakat yang bergerak dalam kegiatan “machizukuri”. Secara langsung ini
membuat posisi tawar masyarakat dalam pengambilan keputusan dalam perencanaan
lingkungan juga menjadi semakin kuat.
Implementasi Gerakan “Machizukuri”
Satu
yang harus disesuaikan dengan kegiatan pembangunan dengan model “machizukuri”
ini adalah kesabaran dalam menampung semua aspirasi masyarakat yang berimplikasi
pada lamanya waktu (dari rencana sampai eksekusi) yang diperlukan dalam sebuah
kegiatan. Dari sini, perencanaan jangka panjang, seperti pembuatan rencana
induk (master plan) yang menyangkut hajat hidup masyarakat banyak,
kegiatan “machizukuri” sangat lah membantu untuk menyerap aspirasi masyarakat
secara utuh. Dari simulasi beberapa kegiatan yang telah banyak dilakukan,
tahapan-tahapan yang ada semacam: “sharing” visi, memperkecil kontradiksi,
sampai membangun dan menyetujui usulan strategis bersama-sama, benar-benar
menuntut ketahanan. Dalam proses pengambilan keputusan ini masyarakat
didampingi oleh fasilitator yang mempunyai kompetensi, seperti dari perguruan
tinggi atau penunjukkan dari pemerintah daerah. Meskipun menguras enerji,
tetapi proses semacam ini mampu untuk menghindari munculnya beberapa kasus
perencanaan yang masif dan intensif dengan modal besar, yang biasanya berujud
proyek yang tiba-tiba, “menekan”, dan harus diselesaikan dalam hitungan dan
target waktu tertentu.
Gambar 2. Diskusi pada forum “machizukuri” di sebuah komunitas di Jepang
Gambar 2. Diskusi pada forum “machizukuri” di sebuah komunitas di Jepang
Dalam
praktiknya juga “machizukuri” ini mencakup dalam 3 (tiga) sektor kehidupan
masyarakat, yaitu: pendidikan sosial, pembangunan (kembali) komunitas lokal,
dan pembangunan lingkungan. Pendidikan sosial (social education) ini
bisa berujud penyebaran informasi melalui komunitas, misalnya tema-tema tentang
masyarakat manula, proses penyebaran informasi, proteksi atau penyelamatan
lingkungan, dan lainnya. Nara-sumbernya bisa dari mana saja, perguruan tinggi,
organisasi lain, pihak swasta, atau pun lembaga pemerintah. Yang kedua adalah
pembangunan kembali komunitas lokal (local community re-development)
untuk menangani program-program yang akan dilaksanakan. Beberapa di antaranya
akan membentuk pula semacam dewan “machizukuri” (machizukuri kyogikai)
yang berisi perwakilan-perwakilan masyarakat untuk mengefisiensikan pengambilan
kebijakan. Yang ketiga adalah pembangunan lingkungan (environmental
development) yang oleh masyarakat awam sering menjadi inti dari definisi
“machizukuri” itu sendiri.
Usaha
untuk merealisasikan sebuah hasil gerakan “machizukuri” sendiri ini bisa
diaktualisasikan ke dalam 2 (dua) jenis program penting, yakni “soft-program”
dan “hard-program”. Soft program biasanya program yang berisi kegiatan
masyarakat setempat untuk mengoptimalkan fasilitas yang ada. Program ini bisa
dari kursus sampai festival atau dari usaha kebugaran warga sampai
menyelenggarakan pasar bulanan yang melibatkan cakupan wilayah dan partisipan
yang lebih luas. Sedang hard program adalah program yang bertautan
dengan penambahan, pengadaan atau juga penyesuaian, yang biasanya berujud
proyek-proyek (pembangunan) fisik. Jadi belum tentu bahwa semua program
“machizukuri” bersifat padat modal, tetapi banyak pula yang berisi peningkatan
kepedulian pada lingkungan dengan program-program sederhana.
Peran “Machizukuri” dan Era
Perencanaan Kini
“Machizukuri”
sendiri saat ini menjadi bagian penting dan tak terpisahkan dari program
manajemen lingkungan kota (urban environmental management) di seluruh
Jepang. Sifat kegiatannya yang tidak mengejar untung (non profit
organization/activities) dan hanya dilandasi satu tujuan untuk memperbaiki
taraf hidup lingkungan-sosial-ekonomi masyarakat setempat. Dalam taraf
implementasi gagasan pembangunan masyarakat yang berkelanjutan (sustainable
communities), partisipasi masyarakat semacam ini sangat lah tepat dan
memperingan tugas pemerintah. Namun begitu kendala dalam tataran
pelaksanaannya, seperti dikutip Sorensen (2002), pun masih terus terjadi. Hal
ini diakibatkan bukan hanya karena makin lunturnya sistem sosial kemasyarakatan
yang dihadapi Jepang, tetapi juga prioritas pembangunan yang kurang konsisten
di tingkat bawah dan belum tersosialisasikannya standar manajemen lingkungan.
Namun
begitu, patut diakui pula bahwa aksi-aksi “buttom up” dari gerakan
“machizukuri” di masyarakat Jepang telah banyak membuahkan hasil, terutama
sepanjang 10 tahun terakhir ini. Partisipasi pada penyusunan rencana induk (master
plan) area, pembangunan jejaring hijau (green network), usaha
perbaikan taman-taman setempat, kritik terhadap pembangunan banguan tinggi yang
merugikan wilayah tertentu mereka, maupun perlindungan terhadapa tempat-tempat
yang memiliki nilai sejarah (historical area), telah banyak membantu
pembangunan masyarakat.
Saat
ini, masa di mana generasi “baby boomers” (orang Jepang yang lahir antara tahun
1947-1949) yang banyak memasuki usia pensiun (tepatnya tahun 2007 nanti) dan
berkurangnya angka fertilitas di Jepang, maka Jepang saat ini menghadapi
masalah serius “depopulasi”. Kurva komposisi penduduk pun lebih meggambarkan
pada bentuk besar di atas (pada komposisis penduduk usia tua). Dari jumlah
penduduk yang diperkirakan sekitar 127.8 di tahun 2006 ini, maka akan berkurang
sekitar 20%nya menjadi sekitar 100.6 juta jiwa di tahun 2050 (National
Institute of Population and Social Security Research (IPSS), 2006). Dalam
tataran perencanaan lingkungan pun isu ini saat ini terus mendominasi. Pada
tataran konsep yang dituntut adalah memikirkan hubungan antara pembangunan yang
berkelanjutan dengan isu depopulasi dan perujudannya dalam peningkatan kualitas
hidup (quality of life) pada masyarakat Jepang ini. Dan tema ini lah
yang saat mendominasi proses dan kegiatan “machizukuri” di Jepang.
Gambar 3. Kosep pembangunan
berkelanjutan pada gerakan ” machizukuri” yang diadopsi secara luas di Kota
Kobe (Sumber: Kaidou, 2002)
Di
Kota Kobe, Hyogo Prefektur sebagai contoh, semenjak pembangunan kembali kotanya
dari reruntuhan bencana itu, telah memikirkannya secara matang konsep
pembangunan bagian kota yang berbasis pada keseimbangan pembangunan komunitas,
ekonomi, dan lingkungan warga yang membentuk jejaring dalam kota (Gambar 3.).
Juga di Kota Fukaya, Saitama Prefektur, yang oleh para peneliti dicap sukses
dalam merestorasi isu terkini dalam sebuah kota ini dengan jalan mengoptimalkan
partisipasi masyarakatnya melalui kegiatan “machizukuri” ini. Buktinya, pusat
Kota Fukaya berupa Jalan Nakasendou menjadi hidup kembali melalui serangkaian
revitalisasi fisik dan mengisinya dengan berbagai macam aktivitas warga kota
yang sebagian besar lanjut usia itu (dari bisnis misalnya “pasar tiban” sampai
kegiatan budaya semacam festival).
Sumber
:
http://www.kamusilmiah.com/arsitek/machizukuri-model-partisipasi-masyarakat-jepang-dalam-pembangunan-kota/
0 komentar:
Posting Komentar