Sabtu, 04 Oktober 2014

Manajemen Transportasi Perkotaan


Hari Jadi Ke-262 Solo pada 17 Februari diperingati dengan unik karena justru penuh nuansa adat Jawa. Hal ini terutama mengacu pada ikon Solo sebagai kota budaya sehingga semua nuansa seremonial upacara bendera akan diselenggarakan memakai bahasa, busana, dan juga diiringi gending-gending Jawa. Terlepas dari unsur kejawen yang akan mewarnai seremonial kali ini, yang jelas ke depan pembangunan dan perkembangan Solo bukan tanpa masalah.
Bahkan, kasus banjir di Jakarta dan sekitarnya juga harus bisa menjadi pelajaran berharga bagi stakeholder Solo untuk mengantisipasi secara proaktif. Oleh karena itu, beralasan jika Pemkot Solo berencana membangun Taman Balekambang menjadi hutan kota (Partinah Bosch) dan Taman Air (Partini Tuin) dimulai Maret 2007 yang tak lain ialah implementasi dari konsep pengembangan yang telah disusun oleh KGPAA Mangkunegoro VII.
Dari berbagai problem perkotaan, salah satu yang sangat penting adalah transportasi. Memang diakui kemacetan, kebisingan, dan polusi udara merupakan ciri kota yang tumbuh menjadi kota besar. Akar semua persoalan itu sebenarnya tata ruang perkotaan, termasuk dampak sosial-ekonomi atas pertumbuhan dan pembangunan pusat-pusat perbelanjaan modern serta sentra pertumbuhan ekonomi di perkotaan.
Masalah transportasi kota adalah masalah pelik. Ketergantungan terhadap mobil pribadi yang sangat tinggi menjadi salah satu inti dari masalah transportasi kota. Ini dipicu pula oleh struktur kota yang makin menggurita, melebar ke mana-mana (sprawl development). Banyak lokasi di luar kota yang memang kurang diimbangi laju penyediaan infrastruktur transportasi massal. Faktor lain ialah gaya hidup, yakni hidup ekspansif dan keselarasan dengan pendapatan yang semakin besar (Roychansyah, 2005).
Pembangunan mal, supermarket, hipermarket, dan pusat-pusat perdagangan baru yang dipaksakan di wilayah-wilayah yang sudah padat lalu lintas ikut memberi kontribusi bagi kemacetan kendaraan di Kota Solo. Pembangunan pusat perdagangan baru itu seolah tak memerhatikan jarak efisien untuk menghindari kemacetan. Lebih parah lagi badan jalan sering dipakai area parkir kendaraan pengunjung pusat-pusat perbelanjaan. Jelas ini akan mengurangi ruang untuk lalu lintas kendaraan di jalan raya. Paling tidak ini terlihat di sekitar Solo Grand Mall, Solo Square, Singosaren, Pasar Legi, dan Pasar Klewer.
Di sisi lain tingkat pencemaran udara di Solo sudah mencapai tingkat yang kronis dan sektor transportasi merupakan kontributor utama bagi pencemaran udara ini. Di tempat-tempat tertentu mulai terlihat penurunan nilai kualitas udara, terutama di tempat yang macet. Terkait kasus ini, anak jalanan, tukang parkir, PKL, tukang becak, sopir kendaraan umum, serta masyarakat yang menjadikan jalan sebagai tempat mengais rezeki merupakan pihak yang paling rentan terkena risiko pencemaran. Ancaman serius
Mengacu peliknya problem transportasi kota, Departemen Perhubungan berencana menerapkan sistem transportasi angkutan massal di sejumlah kota besar yang disebut dengan bus rapid transit. Sebanyak 15 kota telah ditawari sistem transportasi ini yang dimaksud untuk membatasi penggunaan kendaraan pribadi. Alasannya karena ke depan masalah transportasi akan menjadi masalah besar. Secara sistem, pola operasional bus rapid transit mirip busway (bus dengan jalur khusus) karena juga menyediakan tempat pemberhentian khusus. Hanya saja pola ini tidak memerlukan jalur khusus dengan pertimbangan ruang yang mungkin kurang mendukung.
Mengacu esensi atas transportasi kota bahwa pada intinya pemilihan model transportasi ditentukan dengan mempertimbangkan dua persyaratan inti, pertama, pemindahan barang-manusia dilakukan dalam jumlah yang terbesar dan juga jarak yang terkecil. Transportasi massal merupakan pilihan yang lebih baik dibandingkan dengan transportasi individual. Dengan mengurangi jumlah sarana transportasi sekecil mungkin dan juga dalam waktu tempuh yang sekecil mungkin akan diperoleh efisiensi yang tertinggi sehingga pemakaian total energi per penumpang akan sekecil mungkin dan intensitas emisi pencemar yang dikeluarkan berkurang.
Kedua, daya dukung wilayah (sesuai perencanaan kota) dan sistem transportasi terhadap jumlah kendaraan. Kini kendaraan sudah seharusnya mulai dibatasi menyesuaikan daya tampung dan daya dukung jalan raya, ketersediaan lokasi parkir atau sarana pendukung transportasi lainnya. Untuk dapat mencapai sistem transportasi yang hemat energi diperlukan terlebih dahulu upaya proaktif dalam model perencanaan yang menjamin sistem transportasi yang direncanakan itu sesuai dengan tata ruang dan perencanaan kota.
Perencanaan sistem transportasi yang kurang matang justru dapat memicu berbagai permasalahan. Untuk itu, perencanaan sistem transportasi harus menjadi prioritas dalam pembangunan pengembangan kota terutama untuk menanggulangi berbagai dampaknya. Penanggulangan ini wajib dilaksanakan dengan melihat semua aspek yang ada pada sistem transportasi, yaitu mulai dari perencanaan sistem transportasi, model transportasi, sarana, pola lalu lintas, jenis mesin kendaraan dan bahan bakar yang digunakan. Intinya, Kota Solo ke depan jelas tidak bisa terlepas dari ancamankemacetan dan polusi. Oleh karena itu tak ada alasan untuk tidak secepat mungkin mengantisipasinya. Fereshti ND Dosen Universitas Muhammadiyah Solo

Sumber : http://bstp.hubdat.dephub.go.id/index.php?mod=detilSorotan&idMenuKiri=345&idSorotan=46

0 komentar:

Posting Komentar